Harianpemalang.id, Pemalang – Di tengah arus kehidupan yang sering kali diwarnai oleh persaingan, pencapaian, dan ambisi, sebuah bisikan kearifan kembali hadir untuk menenangkan riuhnya jiwa: ” Jangan Pernah Angkuh, Karena Semua Hamba Mempunyai Jatah Untuk Jatuh !”.
Pesan sederhana ini bukan sekadar imbauan moral, melainkan sebuah pengingat fundamental tentang posisi kita di alam semesta dan konsekuensi dari melupakan batasan diri.
Keangkuhan, dalam berbagai bentuknya, adalah benih yang subur dalam diri manusia. Ia tumbuh dari keberhasilan sesaat, dari pujian yang berlebihan, atau dari kekuasaan yang menggoda. Ketika seseorang merasa dirinya lebih tinggi, lebih mampu, atau lebih berhak dari yang lain, di situlah keangkuhan mulai merajalela. Namun, di balik tirai kesombongan itu, tersembunyi sebuah kebenaran yang tak terhindarkan: “Semua orang punya jatah untuk jatuh.”
Jatuh di sini bukanlah sekadar terjatuh secara fisik. Maknanya jauh lebih luas dan mendalam. Ini mencakup segala bentuk keterpurukan yang bisa menghampiri kehidupan manusia. Kegagalan dalam usaha, kehilangan orang terkasih, merosotnya kesehatan, hilangnya kekuasaan, atau bahkan terjerumus dalam kehinaan. Roda kehidupan berputar tanpa henti. Hari ini kita mungkin berada di puncak kejayaan, namun esok hari jurang kehancuran bisa saja menganga di hadapan kita. Sejarah telah mencatat banyak kisah tentang para penguasa yang angkuh, para hartawan yang sombong, dan para cendekiawan yang tinggi hati, yang pada akhirnya harus merasakan pahitnya kejatuhan.
Pesan selanjutnya membawa kita pada perenungan yang lebih esensial tentang hakikat keberadaan kita: “Peranmu hanya sebatas hamba.” Sebagai hamba, kita memiliki kodrat yang jelas. Kita bukanlah pemilik mutlak atas apa pun di dunia ini. Kekayaan, kecerdasan, kekuasaan, bakat, dan segala pencapaian yang kita raih hanyalah titipan dari Sang Pencipta. Kita diberi amanah untuk mengelola dan memanfaatkan semua itu dengan sebaik-baiknya, bukan untuk berbangga diri dan merendahkan orang lain.
Melupakan status sebagai hamba akan membawa kita pada ilusi kepemilikan atas dunia ini. “Jangan bertingkah seolah-olah kau yang punya dunia.” Dunia dengan segala isinya, dengan segala kompleksitas dan keajaibannya, jauh melampaui jangkauan kepemilikan individu. Kita hanyalah setitik debu dalam hamparan semesta yang maha luas. Kesombongan yang mendorong kita untuk bertingkah seolah-olah memiliki segalanya adalah sebuah kekeliruan perspektif yang mendasar.
Keangkuhan memiliki akar yang dalam dalam psikologi manusia. Ia sering kali muncul sebagai mekanisme pertahanan diri, sebagai upaya untuk menutupi rasa tidak aman atau rendah diri. Namun, alih-alih menyembuhkan, keangkuhan justru menjauhkan kita dari kebenaran dan dari hubungan yang tulus dengan sesama. Ia menciptakan jurang pemisah, menumbuhkan permusuhan, dan pada akhirnya mengisolasi diri kita sendiri.
Sebaliknya, kerendahan hati adalah kunci untuk membuka pintu kebijaksanaan dan kedamaian. Orang yang rendah hati menyadari keterbatasannya, menghargai orang lain, dan terbuka untuk belajar dari siapa pun. Mereka memahami bahwa setiap individu memiliki nilai dan potensi yang unik. Kerendahan hati memupuk empati, kasih sayang, dan persaudaraan.
Di tengah kesibukan kita dalam mengejar impian dan menjalani rutinitas, mari kita luangkan waktu sejenak untuk merenungkan pesan sederhana namun mendalam ini. Ingatlah selalu bahwa keangkuhan adalah jalan yang rapuh dan penuh risiko. Setiap kesuksesan yang kita raih hendaknya semakin menundukkan kepala kita, menyadari bahwa semua itu adalah anugerah dan titipan.
Semangat dalam beraktivitas hari ini adalah modal untuk meraih kebaikan. Semoga kita semua senantiasa dilimpahi kesehatan untuk menjalankan amanah, kesuksesan dalam setiap ikhtiar, kesabaran dalam menghadapi ujian kehidupan, dan yang terpenting, kemampuan untuk selalu mensyukuri setiap nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Sang Pemilik Kehidupan. Aamiin.
Mari kita jadikan pengingat ini sebagai kompas dalam setiap langkah kita. Dengan menyadari kodrat kita sebagai hamba dan menjauhi keangkuhan, kita akan mampu menjalani hidup dengan lebih bijaksana, penuh syukur, dan membawa manfaat bagi sesama.
Oleh: Ahmad Joko Suryo Supeno, S.H.