Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
ArtikelHeadline News

Berani dan Percaya, Pelajaran dari Kemenangan Pemimpin Minoritas

40
×

Berani dan Percaya, Pelajaran dari Kemenangan Pemimpin Minoritas

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Seri Inspirasi Pagi

Oleh: dr. Darmanto, S.H., M.Kes, Sp.PD, FINASIM, FISQua

Advertisement
Example 300x600
Scroll kebawah untuk lihat konten

Harianpemalang.id, Pemalang – Akhir pekan ini, dunia kembali mencatatkan sejarah baru. New York, sebuah kota multikultural yang tak pernah tidur, baru saja memilih seorang wali kota muslim. Bagi sebagian warganya, kemenangan ini adalah harapan baru, hadirnya kepemimpinan yang membawa nilai keadilan, transparansi, dan keberpihakan pada semua golongan. Namun, bagi sebagian lainnya, muncul rasa khawatir. Bukan karena kompetensinya diragukan, melainkan karena prasangka dan ketakutan yang didasari image dan identitas yang belum mereka pahami. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apakah kami bisa bekerja sama dengannya?” atau “Apakah visinya akan berpihak kepada kami?” kerap terlintas.

Kemenangan ini mencerminkan fenomena klasik di mana orang sering kali takut bukan karena seseorang tidak mampu, melainkan karena gambaran atau identitas yang belum mereka pahami secara utuh. Padahal, sejarah membuktikan bahwa pemimpin-pemimpin besar kerap lahir dari kelompok minoritas yang justru membawa angin segar bagi peradaban. Contohnya adalah Nabi Yusuf alaihis salam, seorang asing di tanah Mesir, namun diangkat menjadi bendahara negara berkat kejujuran dan kebijaksanaannya.

Pelajaran serupa juga datang dari Sayyidina Umar bin Khattab. Ketika beliau mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima, banyak yang merasa cemas karena masa lalu Khalid yang pernah berada di pihak musuh. Namun, Umar dengan tegas menyatakan, “Aku tidak memilih masa lalu seseorang, tapi masa depan yang bisa ia bawa.”

Kita hidup dalam dunia yang terus berubah. Apa yang kita butuhkan adalah keberanian untuk melepaskan prasangka dan memberi ruang pada kualitas serta nilai, bukan sekadar identitas. Sebagaimana perkataan Syaikh Ibn ‘Athaillah, “Takutlah engkau pada prasangka yang membuatmu buta pada kebenaran.”

Dalam pergaulan sehari-hari, sikap serupa sering muncul tanpa kita sadari. Kita cenderung membatasi kepercayaan hanya kepada mereka yang “satu kelompok,” “satu selera,” atau “satu latar belakang.” Padahal, bisa jadi orang yang paling bisa kita andalkan adalah mereka yang selama ini kita curigai hanya karena penampilan, cara bicara, atau perbedaan pendapat. Kita sering lupa bahwa kolaborasi tak selalu membutuhkan kesamaan, melainkan membutuhkan kepercayaan dan keterbukaan.

Dalam dunia kerja, komunitas, hingga pertemanan, saat kita mulai menilai orang dari akhlak dan kemampuannya, bukan dari identitas luarnya, di situlah kualitas hubungan tumbuh. Seperti kata pepatah Arab, “Al-ma’rifah fi shuhbi la fi syaklihi”—Kenalilah seseorang dari pergaulannya, bukan dari rupanya.

Maka, mari kita buka hati. Dunia ini membutuhkan lebih banyak pemimpin baik, apa pun latar belakangnya. Karena keberanian untuk memberi kepercayaan adalah awal dari peradaban yang besar.

Pemalang, 30 Juni 2025

Editor : Joko Longkeyang



Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *