Harianpemalang.id, Pemalang – Kebijakan yang melarang kepala desa untuk terlibat aktif sebagai pengurus partai politik kini menjadi sorotan tajam. Aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ini, meski bertujuan menjaga netralitas birokrasi desa dan mencegah politisasi anggaran, justru menimbulkan pertanyaan serius mengenai hak politik warga negara dan prinsip keadilan serta kesetaraan dalam hukum.
Dalam sebuah artikel ilmiah, Wahyudin, S.H., seorang mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum dari Universitas Pancasakti Tegal, mengkaji larangan tersebut dari sudut pandang yuridis normatif. Ia menyoroti potensi ketimpangan perlakuan hukum yang dialami kepala desa dibandingkan dengan pejabat publik lain, seperti anggota DPR, yang tetap diperbolehkan aktif dalam dunia politik.
“Larangan ini memang didasari pada kepentingan menjaga netralitas penyelenggaraan pemerintahan desa,” tulis Wahyudin dalam abstrak penelitiannya.
“Namun, jika dibandingkan dengan pejabat negara lain yang tidak dikenai larangan serupa, timbul pertanyaan mengenai keadilan dan kesetaraan perlakuan hukum.”
Penelitian Wahyudin, yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, menganalisis data dari peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, hingga putusan Mahkamah Konstitusi. Ia menekankan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya selalu menegaskan pentingnya pembatasan hak asasi harus bersifat proporsional.
Menurut Wahyudin, larangan total bagi kepala desa untuk menjadi pengurus partai politik, tanpa disertai mekanisme alternatif seperti cuti politik, dapat dianggap bertentangan dengan asas proporsionalitas dan nondiskriminasi. Ini sejalan dengan prinsip hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 dan 28D Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam penutupnya, Wahyudin merekomendasikan agar larangan ini ditinjau ulang secara komprehensif. Ia berpendapat bahwa negara demokratis harus mampu menjamin partisipasi politik setiap warganya tanpa diskriminasi, sepanjang hal itu tidak mengganggu kepentingan umum.
“Rekomendasi perbaikan kebijakan dapat berupa pembatasan bersyarat atau mekanisme cuti dari jabatan selama menjabat dalam struktur partai politik,” saran Wahyudin, menawarkan solusi yang dapat menjaga netralitas sekaligus menghormati hak konstitusional kepala desa sebagai warga negara.
Kajian ini membuka diskursus penting tentang bagaimana keseimbangan antara netralitas jabatan publik dan hak asasi politik dapat diwujudkan secara adil dan setara dalam sistem hukum Indonesia.( Joko Longkeyang).