Harianpemalang.id, Pemalang – Pepatah kuno sarat makna kembali terngiang, “Luka-luka di mulut masih bisa disembuhkan, tapi luka-luka yang disebabkan oleh mulut tidak bisa disembuhkan.” Sebuah kebenaran universal yang seringkali terabaikan dalam hiruk pikuk interaksi sosial kita.
Di tengah arus informasi yang deras dan kebebasan berpendapat yang semakin luas, kita perlu berhenti sejenak dan merenungkan betapa signifikannya setiap kata yang terucap dari bibir kita. Lebih dari sekadar alat komunikasi, lidah memiliki kekuatan untuk membangun jembatan persahabatan dan pengertian, namun juga mampu merobohkan benteng kepercayaan dan menebar benih permusuhan yang mendalam.
Luka fisik pada rongga mulut, seperti sariawan yang mengganggu atau bibir pecah-pecah akibat cuaca ekstrem, meskipun menimbulkan rasa tidak nyaman, umumnya memiliki batas waktu penyembuhan. Sel-sel tubuh kita bekerja tanpa lelah untuk meregenerasi jaringan yang rusak, dan dalam beberapa hari atau minggu, rasa sakit itu akan berangsur hilang, meninggalkan kita tanpa jejak yang berarti. Namun, bagaimana dengan luka yang diakibatkan oleh perkataan? Luka ini tidak berwujud, tidak terlihat secara kasat mata, namun dampaknya bisa jauh lebih dahsyat dan bertahan jauh lebih lama.
Bayangkan seorang anak yang terus-menerus mendengar hinaan dan perbandingan negatif dari orang tuanya. Luka di mulutnya mungkin sembuh setelah terjatuh saat bermain, namun luka di hatinya akibat kata-kata pedas itu bisa membekas hingga dewasa, merusak rasa percaya diri dan membentuk citra diri yang negatif. Atau, pikirkan tentang seorang karyawan yang menjadi korban gosip dan fitnah di tempat kerjanya. Meskipun ia tidak mengalami luka fisik, reputasinya tercoreng dan rasa percaya dirinya hancur, meninggalkan trauma emosional yang mendalam.
Dunia maya, dengan anonimitas dan kemudahan dalam menyampaikan ujaran kebencian (hate speech) dan perundungan siber (cyberbullying), semakin memperparah fenomena ini. Kata-kata yang ditulis dan disebarkan dalam hitungan detik dapat menjangkau ribuan bahkan jutaan orang, meninggalkan jejak digital yang sulit dihapus dan luka psikologis yang mendalam bagi para korbannya. Korban perundungan siber seringkali merasa terisolasi, malu, dan bahkan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya. Luka yang disebabkan oleh jari-jemari di atas keyboard ternyata bisa sama mematikannya dengan luka fisik.
Para ahli psikologi dan komunikasi sepakat bahwa dampak psikologis dari perkataan negatif bisa sangat signifikan. Kata-kata kasar, merendahkan, atau penuh prasangka dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental, mulai dari kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD). Luka batin akibat perkataan seringkali terpendam dan tidak terlihat, sehingga sulit dideteksi dan diobati. Proses penyembuhannya pun membutuhkan waktu yang lebih lama dan penanganan yang lebih kompleks dibandingkan dengan luka fisik.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, perkataan yang tidak bertanggung jawab dapat merusak tatanan masyarakat. Ujaran kebencian yang menyasar kelompok tertentu dapat memicu konflik dan polarisasi. Informasi palsu atau hoaks yang disebarkan melalui lisan maupun media sosial dapat menimbulkan keresahan dan ketidakpercayaan di tengah masyarakat. Lidah yang tidak terkendali dapat menjadi alat pemecah belah yang sangat efektif.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menanamkan kesadaran akan kekuatan kata-kata sejak dini. Pendidikan tentang etika berkomunikasi, empati, dan menghargai perbedaan pendapat perlu menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan dan interaksi sosial kita. Setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga lisannya dan memastikan bahwa setiap perkataan yang keluar membawa kebaikan dan membangun hubungan yang positif dengan sesama.
Mari kita belajar untuk berpikir sebelum berbicara, menimbang dampak dari setiap ucapan yang akan kita lontarkan. Alih-alih menggunakan kata-kata untuk menyakiti dan merendahkan, mari kita jadikan lisan kita sebagai alat untuk menginspirasi, menghibur, dan menyebarkan kebaikan. Ingatlah selalu, luka di mulut mungkin akan sembuh seiring berjalannya waktu, namun luka yang disebabkan oleh mulut bisa jadi akan membekas dalam ingatan dan hati seseorang seumur hidupnya. Pilihlah kata-kata dengan bijak, karena sekali terucap, ia takkan pernah bisa ditarik kembali.
Bukit Tangkeban, Pemalang, Jawa Tengah Selasa, 6 Mei 2025.
Oleh: Ahmad Joko SSp, S.H.
Wartawan media online: emsatunews.co.id