Harianpemalang.id, Pemalang – Sebuah status WhatsApp dari seorang teman beberapa waktu lalu menggelitik pikiran saya. Sederhana namun penuh makna, ia menulis, “Untuk menjadi pemimpin yang hebat, menulislah seperti wartawan.” Kalimat ini merangkum sebuah esensi penting yang seringkali terlupakan dalam diskursus kepemimpinan.
Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, peran sebagai pemimpin seringkali hadir tanpa terduga. Mulai dari pucuk pimpinan keluarga, nahkoda di tempat kerja, penggerak komunitas, hingga sekadar figur panutan dalam lingkaran pertemanan. Sebuah pertanyaan mendasar pun muncul: bekal krusial apa yang sebenarnya dibutuhkan seorang pemimpin?
Ketegasan, wibawa, dan kemampuan mengambil keputusan cepat seringkali disebut sebagai kualitas utama. Tentu, hal ini tak dapat disangkal. Namun, ada satu aspek fundamental yang kerap terabaikan: kemampuan seorang pemimpin untuk menyampaikan pemikirannya dengan efektif, terutama melalui tulisan.
Mari kita menoleh pada Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia. Jauh sebelum dikenal sebagai orator ulung yang mampu membakar semangat bangsa, Soekarno adalah seorang penulis gagasan-gagasan revolusioner yang mengguncang hegemoni penjajah. Di masa pengasingan, lahir tulisan beliau Indonesia Menggugat, sebuah pledoi yang membakar semangat perlawanan. Ia merumuskan Pancasila dengan keyakinan mendalam, menyadari bahwa ketika suara tak dapat menjangkau rakyat secara langsung, maka tulisanlah yang akan berbicara.
Bung Hatta, sang dwitunggal yang lebih memilih kata dalam kesunyian, namun tulisannya setajam pedang. Di tengah pengasingan di Boven Digoel, ia terus merangkai kata. Aliran Sosial dalam Pergerakan Nasional menjadi saksi bisu ketajaman analisisnya. Bung Hatta mengajarkan bahwa perjuangan tak selalu harus berteriak di jalanan, ide-ide besar justru seringkali tumbuh dalam keheningan, terukir melalui pena di atas kertas.
Melintasi benua, kita menemukan Mahatma Gandhi di India. Ia memilih jalan perlawanan tanpa kekerasan, namun tidak dengan membungkam diri. Surat demi surat, artikel demi artikel ia lahirkan, menyerang ketidakadilan dengan bahasa yang jernih dan penuh kelembutan. Bahkan kepada lawan politiknya pun, ia menulis dengan rasa hormat. Otobiografinya, The Story of My Experiments with Truth, ditulisnya saat mendekam di penjara Yeravda, membuktikan bahwa keterbatasan fisik tak mampu membungkam kebebasan pikiran yang tertuang dalam kata-kata.
Di belahan bumi Eropa, Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Inggris, pernah diremehkan karena kekalahan dalam pemilu. Namun, ia tak berhenti menulis dengan keyakinan yang teguh. Ketika Perang Dunia II berkecamuk, tulisannya menjadi bara semangat bagi rakyat Inggris. Pengakuan dunia pun datang, ia meraih Nobel Sastra bukan karena karir politiknya, melainkan karena karyanya, The Second World War, yang mampu menggerakkan semangat heroisme bangsanya.
Dari benua Afrika, Nelson Mandela juga membuktikan kekuatan pena dari balik jeruji besi. Long Walk to Freedom bukan sekadar otobiografi, melainkan narasi tentang penderitaan, harapan, dan pengampunan. Ia memahami bahwa meski tubuhnya terkurung, pikirannya harus tetap bebas menari melalui kata-kata.
Di era kontemporer, Barack Obama, sang “Mr. No Drama,” juga dikenal sebagai penulis ulung. Bahkan sebelum menduduki kursi kepresidenan, ia telah menulis memoar The Audacity of Hope, bukan untuk pamer, melainkan untuk menjelaskan visi dan nilai-nilai yang ia perjuangkan.
Kisah para pemimpin besar ini menyadarkan kita akan esensi menulis dalam kepemimpinan. Menulis adalah medium untuk menyampaikan gagasan secara jelas, menggerakkan pengikut dengan kata-kata yang tepat, dan memberikan semangat yang membara. Oleh karena itu, seorang pemimpin idealnya mampu menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, layaknya seorang wartawan yang dituntut untuk menyampaikan informasi secara efektif dan menarik. Seperti yang diungkapkan teman saya, untuk menjadi pemimpin hebat yang selalu dikenang, menulislah seperti wartawan.
Menulis bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan juga cerminan dari kejernihan berpikir. Proses menulis melatih kesabaran, kejujuran dalam menyampaikan ide, dan kemampuan menyusun gagasan secara sistematis. Tulisan seorang pemimpin tidak harus selalu berupa karya ilmiah yang rumit. Catatan harian, curahan hati sederhana, atau bahkan pesan singkat kepada tim kerja pun memiliki kekuatan tersendiri.
Sebuah kearifan lokal Jawa mengatakan, “Sing ditulis nganggo ati, mesti bakal nancep ning ati.” (Apa yang ditulis dengan hati, pasti akan tertancap di hati). Oleh karena itu, mari kita belajar dan menghargai kekuatan menulis. Sebab, jejak terbesar seorang pemimpin mungkin tidak hanya terukir di atas panggung kekuasaan, tetapi juga abadi dalam lembaran-lembaran tulisan yang ia tinggalkan.
On the Way, 18 April 2025
Penulis : dr. Darmanto, Sp.PD.
Editor : Ahmad Joko, SSp, S.H.