Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
ArtikelBeritaPendidikan

Pelajaran Kepemimpinan dari Abu Dzar Al-Ghifari: Ketika Keinginan Tidak Menjadi Ambisi.

906
×

Pelajaran Kepemimpinan dari Abu Dzar Al-Ghifari: Ketika Keinginan Tidak Menjadi Ambisi.

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Harianpemalang.id, Pemalang – Banyak orang berpikir bahwa memiliki jabatan adalah tanda keberhasilan, simbol kehormatan, atau sarana untuk berbuat kebaikan. Tidak jarang, keinginan ini muncul dari niat tulus untuk membawa perubahan dan menegakkan keadilan. Namun, apakah setiap orang yang berilmu dan saleh cocok menjadi pemimpin?

Kisah Abu Dzar Al-Ghifari, seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang terkenal dengan keberanian dan keteguhannya, memberi kita pelajaran berharga tentang kepemimpinan dan amanah. Abu Dzar Al-Ghifari bukan hanya dikenal sebagai seorang yang jujur dan saleh, tetapi juga sebagai sosok yang dekat dengan Rasulullah ﷺ. Suatu hari, ia datang kepada Nabi ﷺ dan meminta amanah untuk menduduki jabatan pemerintahan.

Advertisement
Example 300x600
Scroll kebawah untuk lihat konten

Permintaan ini bukan didasari oleh ambisi atau kecintaan terhadap kekuasaan, tetapi karena ia ingin berkontribusi lebih besar dalam pemerintahan Islam. Dengan integritas yang tinggi dan ketulusan hati, Abu Dzar merasa mampu menjalankan tugas tersebut dengan baik.

Namun, Rasulullah ﷺ dengan penuh kasih sayang menolak permintaan tersebut dan bersabda: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, sementara jabatan itu adalah amanah. Dan pada hari kiamat, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi mereka yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan kewajibannya dengan baik.” (HR. Muslim)

Penolakan ini bukan karena Abu Dzar tidak jujur atau kurang berilmu, tetapi Rasulullah ﷺ memahami bahwa kepemimpinan membutuhkan lebih dari sekadar keimanan dan integritas. Seorang pemimpin harus memiliki kebijaksanaan, diplomasi, dan kesabaran dalam menghadapi masyarakat yang beragam. Sementara Abu Dzar dikenal sangat tegas dalam menegakkan kebenaran, hal ini bisa menjadi tantangan dalam menghadapi berbagai dinamika sosial dan politik.

Lalu, bagaimana sikap Abu Dzar setelah permintaannya ditolak? Apakah ia kecewa, merasa tersisih, atau bahkan enggan berkontribusi lagi?

Tidak. Justru ia menerima keputusan itu dengan keikhlasan dan kebesaran hati. Abu Dzar tidak marah, tidak membantah, dan tidak menyalahkan siapa pun. Ia tetap berada dalam barisan, mendukung penuh kepemimpinan Rasulullah ﷺ, dan terus berdakwah dengan keteguhan yang sama.

Ia kemudian memilih menjauh dari pertarungan kekuasaan, menjalani hidup dalam kesederhanaan, dan mengingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam ambisi duniawi yang berlebihan.

Kisah Abu Dzar Al-Ghifari mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua keinginan harus diwujudkan menjadi ambisi. Terkadang, sesuatu yang kita anggap baik belum tentu cocok untuk kita. Allah memiliki rencana yang lebih baik sesuai dengan kapasitas dan keikhlasan kita.

Abu Dzar adalah contoh nyata bagaimana seseorang bisa tetap teguh dalam prinsipnya, meskipun harapannya tidak menjadi kenyataan. Keikhlasan dalam menerima keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan adalah bagian dari kebesaran hati dan tanda kedewasaan iman.

Jabatan dan kepemimpinan bukanlah sekadar kehormatan, tetapi amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Maka, sebelum menginginkan kekuasaan, sudahkah kita siap mengembannya dengan penuh tanggung jawab?

“Selamat Menjalankan Ibadah Puasa”.

Pemalang Rabu, 5 Maret 2025 / 5 Ramadhan 1446

Penulis : dr. Darmanto

Editor : Ahmad Joko S Sp, S.H.



Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *