Emsatunews.co.id, Pemalang – Di setiap kesempatan, Pemerintah Indonesia dengan bangga menggembar-gemborkan program wajib belajar sembilan tahun sebagai pilar utama pemerataan pendidikan. Sebuah cita-cita luhur yang secara legal telah tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 6 yang mewajibkan setiap warga negara berusia 7 hingga 15 tahun mengikuti pendidikan dasar (SD dan SMP). Ketentuan ini semakin diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (yang telah diubah dengan PP Nomor 66 Tahun 2010), yang mengamanatkan pemerintah daerah untuk menjamin akses pendidikan dasar bagi semua.
Namun, di balik narasi indah tentang wajib belajar, kita dihadapkan pada realita yang tak jarang membingungkan, bahkan terasa kontradiktif: mengapa masih ada seleksi masuk sekolah? Jika pendidikan dasar adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap anak Indonesia, bukankah seharusnya pintu sekolah terbuka lebar tanpa “embel-embel” persyaratan yang membatasi?
Fenomena seleksi masuk sekolah, baik melalui jalur prestasi, zonasi, atau metode lainnya, kerap menjadi biang kerok kegelisahan orang tua dan siswa. Sebuah ironi yang mencolok adalah ketika pemerintah menyatakan wajib belajar, namun pada saat yang sama, mekanisme masuk sekolah justru menciptakan rintangan.
Mari kita telaah. Seleksi prestasi, meskipun bertujuan mendorong kualitas, secara tidak langsung menciptakan dikotomi antara “siswa unggul” dan “siswa biasa”. Bagi mereka yang kurang beruntung secara akademik di awal, jalur ini bisa menjadi tembok tinggi. Demikian pula dengan sistem zonasi. Meski niat awalnya baik untuk pemerataan dan mendekatkan siswa dengan sekolah terdekat, implementasinya sering kali menimbulkan masalah. Calon siswa yang berada di perbatasan zona atau di wilayah padat penduduk, dengan daya tampung sekolah yang terbatas, bisa terlempar ke sekolah yang jauh atau bahkan kesulitan mendapatkan tempat.
Bukankah praktik-praktik ini secara fundamental menghambat program wajib belajar sembilan tahun? Jika tujuannya adalah mewajibkan setiap anak untuk bersekolah, maka setiap anak harus memiliki jaminan tempat tanpa perlu bersaing di tengah keterbatasan. Konsep “wajib” seharusnya berarti tidak ada ruang untuk “tidak lolos” atau “tidak diterima” karena alasan seleksi.
Pemerintah perlu menjawab pertanyaan mendasar ini: jika pendidikan dasar adalah hak wajib, maka jaminan akses seharusnya tidak bersifat kondisional. “Wajib” berarti setiap anak usia sekolah memiliki kursi di institusi pendidikan, terlepas dari nilai akademis di awal, jarak rumah, atau kriteria lain yang bersifat eliminatif.
Lantas, apa solusinya? Jika daya tampung menjadi alasan, maka pemerintah harus serius menggenjot pembangunan dan penambahan fasilitas sekolah, serta pemerataan kualitas guru di semua jenjang dan wilayah. Jika kualitas menjadi pertimbangan, maka upaya peningkatan mutu harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya terpusat pada sekolah-sekolah tertentu yang kemudian menjadi “favorit” dan memicu seleksi ketat.
Inilah saatnya bagi pemerintah untuk benar-benar mewujudkan semangat wajib belajar sembilan tahun tanpa kompromi. Hapus semua bentuk seleksi yang berpotensi menghambat akses pendidikan dasar. Biarkan setiap anak masuk sekolah, dan tugas pemerintah serta pendidik adalah mengembangkan potensi mereka di dalam lingkungan pendidikan yang inklusif dan berkualitas. Karena sesungguhnya, kalau wajib, ya wajibkan saja masuk sekolah tanpa embel-embel persyaratan ini dan itu.
Oleh : Ahmad Joko SSp, S.H.
Wartawan: emsatunews.co.id