Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
BeritaHeadline NewsPemerintahan

Pernyataan Bupati Pemalang Tuai Kritik: Potensi Pelanggaran Hak Konstitusional Warga

527
×

Pernyataan Bupati Pemalang Tuai Kritik: Potensi Pelanggaran Hak Konstitusional Warga

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Harianpemalang.id, Pemalang – Pernyataan Bupati Pemalang, Jawa Tengah, yang meminta warga untuk “jangan brisik” terhadap kelompok dan kepentingan tertentu yang dianggap menghambat pembangunan daerah, mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, seorang praktisi hukum, menilai pernyataan tersebut tidak hanya tidak etis, tetapi juga berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Imam Subiyanto menekankan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak fundamental yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Pernyataan Bupati yang berkonotasi membatasi atau mendiskreditkan suara kelompok tertentu, menurutnya, merupakan potensi pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum. Ia menyoroti penggunaan diksi “jangan brisik” yang dinilai kasar dan tidak mencerminkan komunikasi pemerintahan yang inklusif dan demokratis. Dalam konteks demokrasi yang sehat, kritik dan perbedaan pendapat justru menjadi bagian penting dari proses pengambilan keputusan dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Advertisement
Example 300x600
Scroll kebawah untuk lihat konten

“Penggunaan diksi ‘jangan brisik’ oleh seorang kepala daerah sangat tidak tepat dan mencerminkan pola komunikasi yang otoriter,” tegas Imam. “Kritik yang konstruktif harusnya dilihat sebagai masukan berharga, bukan sebagai ‘gangguan’ yang harus dibungkam. Menolak mendengar aspirasi warga dengan alasan seperti ini merupakan tanda buruk bagi tata kelola pemerintahan daerah.”

Lebih lanjut, Imam menjelaskan bahwa dalam prinsip negara hukum (rechtstaat), pejabat publik wajib tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), termasuk asas partisipasi, non-diskriminasi, dan kepastian hukum. Setiap kebijakan pemerintah daerah seharusnya melibatkan seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Pernyataan Bupati yang cenderung membungkam kritik, menurutnya, bertentangan dengan prinsip-prinsip AUPB tersebut.

“Kepala daerah harusnya menjadi representasi negara di daerah dan bertindak sebagai pemimpin bagi seluruh warga, bukan hanya kelompok yang mendukungnya,” lanjut Imam. “Kritik bukanlah ancaman, melainkan alat koreksi yang penting dalam sistem demokrasi. Komunikasi publik harus dibangun dengan narasi persatuan dan pelayanan, bukan narasi kekuasaan yang cenderung otoriter.”

Imam menambahkan bahwa jika pernyataan Bupati tersebut berujung pada pembatasan hak-hak kelompok masyarakat tertentu, maka hal tersebut dapat menjadi objek pengaduan ke lembaga seperti Ombudsman RI atau Komnas HAM. Masyarakat juga memiliki hak untuk menggugat kebijakan daerah yang anti-kritik melalui mekanisme hukum yang tersedia, seperti judicial review ke Mahkamah Agung, gugatan TUN, atau pengawasan politik oleh DPRD.

Pernyataan Bupati Pemalang ini telah menimbulkan kekhawatiran akan semakin sempitnya ruang demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Harapannya, Pemkab Pemalang segera memberikan klarifikasi dan merumuskan pendekatan komunikasi yang lebih terbuka, demokratis, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Hanya dengan demikian, pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik dan melibatkan seluruh elemen masyarakat secara setara dan bermartabat. (Joko Longkeyang).



Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *