Harianpemalang.id, Pemalang – Praktik dugaan pungutan liar (pungli) dan penjualan sampul ijazah yang marak terjadi di sejumlah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, kini menuai sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum.
Praktik yang seringkali dibalut dalam dalih “sumbangan sukarela” dengan nominal mencapai ratusan ribu rupiah ini dinilai telah mencederai prinsip pendidikan gratis dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., Cpm, seorang advokat dan konsultan hukum senior di wilayah Jawa Tengah, menyatakan bahwa praktik tersebut tidak bisa lagi ditoleransi.
Menurutnya, tindakan memungut biaya dari wali murid untuk pembelian sampul ijazah, foto, year book, hingga pembangunan gedung, apalagi tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa musyawarah partisipatif, berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana korupsi ,”Jika pungutan dilakukan tanpa dasar hukum, apalagi dengan tekanan atau kewajiban terselubung kepada orang tua siswa, maka hal itu sudah memenuhi unsur pungli dan pemerasan,” tegas Imam, Rabu (28/5/2025).
Dasar Hukum Pelanggaran Pungli di Sekolah
Imam menjelaskan, praktik semacam ini jelas melanggar sejumlah regulasi. Berdasarkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, dijelaskan bahwa Komite Sekolah dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik maupun orang tuanya. Selain itu, dalam Pasal 181 PP Nomor 17 Tahun 2010, pendidik dan tenaga kependidikan secara tegas dilarang menjual perlengkapan sekolah, termasuk seragam dan sampul ijazah, di satuan pendidikan.
Lebih jauh, Imam menyoroti bahwa jika praktik pungli dilakukan oleh aparatur sekolah atau komite sekolah yang merupakan bagian dari sistem pendidikan formal negeri, maka mereka dapat dijerat dengan Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Ancaman hukumannya sangat tegas: pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda minimal Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar. Ini bukan pelanggaran ringan,” ujarnya.
Praktisi hukum yang juga memimpin Law Office Putra Pratama & Partners itu mendesak agar aparat penegak hukum segera turun tangan menelusuri dugaan pungli yang dilaporkan terjadi merata di berbagai sekolah negeri di Pemalang. Imam juga meminta Pemerintah Kabupaten Pemalang melalui Dinas Pendidikan dan Inspektorat Daerah untuk segera melakukan audit investigatif terhadap Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) di semua sekolah.
Imam juga memberikan catatan kritis terhadap keberadaan Komite Sekolah dan Koordinator Kelas (Korlas) yang menurutnya seringkali digunakan sebagai “tangan panjang” untuk melancarkan pungutan kepada orang tua.
“Komite dan Korlas seharusnya dibentuk secara partisipatif, bukan justru menjadi alat pungli terselubung. Jika tidak ada pembenahan, bubarkan saja,” tambahnya.
Di sisi lain, Imam juga mengimbau para orang tua untuk tidak takut melaporkan praktik-praktik semacam ini ke aparat hukum. Ia menegaskan bahwa negara melalui Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014) menjamin keamanan pelapor.
Terakhir, Imam menyampaikan bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara dan tidak boleh dibatasi oleh pungutan yang memberatkan.
“Pendidikan negeri itu gratis. Negara sudah menganggarkan dana BOS, DAU, dan APBD untuk pendidikan. Kalau masih kurang, itu bukan alasan untuk memungut secara ilegal,” pungkasnya. Pernyataan ini menegaskan kembali komitmen negara terhadap pendidikan gratis dan menuntut akuntabilitas dari pihak sekolah.( Joko Longkeyang ).